![]() |
| Tong pengolahan lumpur mengandung emas di Desa Panyabungan Jae, (foto koleksi). |
Metro7news.com|Madina - Pengolahan lumpur dari batuan mengandung mineral emas dengan menggunakan senyawa kimia bahan beracun dan berbahaya (B3) bebagai jenis yang diduga bebas beroperasi tanpa izin resmi dari Pemerintah Republik Indonesia, sayangnya tidak mendapat penindakan tegas dari aparat penegak hukum (APH) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina).
Pengoperasian tong ilegal (pengolahan lumpur batuan mengandung emas) yang diduga tidak memiliki izin atas penggunaan senyawa kimia B3, semakin membuat miris karena hanya berjarak lebih kurang 5 km dari Mako Kepolisian Resor (Polres) Madina.
Ironisnya, APH tidak mampu berbuat apa-apa atas keberadaan tong ilegal tempat pengolahan lumpur batuan mengandung emas.
Terkait keberadaan aktivitas tong ilegal di wilayah Desa Panyabungan Jae Kecamatan Panyabungan, Kapolres Madina, AKBP Arie Sopandi Paloh, SH., SIK, selaku pemangku kewenangan dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana, Rabu (29/10/25).
Saat dihubungi untuk dimintai penjelasan atas tidak adanya penindakan terhadap pelaku kegiatan ilegal yang bertentangan dengan UU RI No 3 Tahun 2020 khususnya Pasal 161, tidak ada penindakan tegas terhadap usaha ilegal tersebut.
Merujuk bunyi Pasal 161 UU RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, jelas mengatur sanksi pidana dan denda terhadap setiap warga negara yang melakukan pengolahan, pemurnian mineral yang berasal dari penambangan yang tidak mengantongi izin resmi dari Pemerintah Republik Indonesia.
"Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)".
(MSU)
