![]() |
Kasi Intelijen Kejari Tanjung Balai Asahan, Andi Sahputra Sitepu, SH (tengah) saat melakukan serah terima DPO yang berhasil ditangkap oleh TIM Tabur Kejatisu, Senin (22/05/23). |
Metro7news.com | Medan - Tim Tabur (Tangkap Buronan) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara berhasil menangkap seorang terpidana atas nama Henry Gomgom Parulian Situmorang yang merupakan DPO (Daftar Pencarian Orang) di Jalan Abd Haris Nasution, tepatnya di depan Asrama Haji Medan sekira pukul 11.00 WIB, Senin (22/05/23).
Henry Gomgom Parulian Situmorang merupakan DPO pada Kejaksaan Negeri Tanjungbalai dalam perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dirinya masuk dalam DPO sejak 22 Desember 2020 lalu bersamaan dengan adanya Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI (MA-RI) Nomor : 84 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 21 Juli 2020.
Setelah dua tahun buron, terdakwa akhirnya berhasil ditangkap oleh TIM Tabur Kejatisu. Selanjutnya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara langsung menghubungi pihak Kejari Tanjungbalai dan menyerahkan terpidana tersebut untuk segera di eksekusi.
Amatan wartawan, Eksekutor Kejari Tanjungbalai yang dipimpin oleh Kasi Intelijen, Andi Sahputra Sitepu, SH terlihat tiba di Kejatisu pukul 17.00 WIB dan langsung melakukan serah terima terpidana dari Tim Tabur Kejatisu kepada Tim Eksekutor dari Kejari Tanjungbalai.
Usai serah terima, Tim Eksekutor Kejari Tanjungbalai langsung membawa terpidana ke Rutan Tanjung Gusta Medan untuk menjalani masa hukumannya selama 6 bulan penjara.
Kepada Metro7news.com, Senin (22/05/23) via selulernya, Kasi Intelijen Kejari Tanjungbalai, Andi Sahputra Sitepu, SH membenarkan hal tersebut.
"Betul bang, saat ini terpidana sudah kita antar ke Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan, untuk menjalani hukumannya," ungkapnya.
Kepada awak media, Andi Sahputra Sitepu, SH juga mengungkapkan kronologis perkara KDRT yang dilakukan oleh terpidana Henry Gomgom Parulian Situmorang hingga menjadi DPO pada Kejari Tanjungbalai.
Sejak menikah dari tanggal 23 Juli 2010 sampai dengan bercerai pada bulan November 2014 saksi korban Christina Riawaty Br Siahaan mengalami kekerasan psikis dimana terpidana tidak pernah memberikan perhatian dalam bentuk perawatan dan pemeliharaan.
Selama kurun waktu tersebut, terpidana juga tidak pernah menanyakan keadaan saksi korban dan dengan sesuka hatinya datang mengunjungi saksi korban di Tanjungbalai.
Akibat perbuatannya, terpidana didakwa dengan dakwaan ke satu dan diancam pidana dengan Pasal 49 Ayat (1), huruf a juncto Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Atau dakwaan kedua, yakni diancam pidana dalam Pasal 45 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 huruf b Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Terhadap perkara tersebut, JPU membacakan tuntutannya pada 23 November 2016, yaitu menuntut terdakwa dengan hukuman selama 2 tahun penjara.
Masih menurut Kasi Intelijen Kejari Tanjungbalai, saat sidang tuntutan pada 14 Desember 2016 silam, PN Tanjungbalai membacakan putusan Nomor: 416/Pid.Sus/2016/PN Tanjungbalai yang menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 1 tahun penjara, dan tahanan tersebut tidak usah dijalani dengan masa percobaan 2 tahun.
Atas putusan tersebut JPU mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Kemudian PT Medan mengeluarkan Putusan Nomor : 73/PID.SUS/2017/PT.MDN tanggal 21 maret 2017, yang menghukum terdakwa selama 1 tahun penjara.
Terkait putusan tersebut, terdakwa melakukan kasasi, lalu Mahkamah Agung memutuskan dengan putusan Nomor: 84 K/PID.SUS/2018 tanggal 21 juli 2020, yang menghukum terdakwa selama 6 bulan penjara.
Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungbalai, Rufina Br Ginting, SH.MH kepada wartawan menyampaikan penangkapan DPO tersebut merupakan upaya penegakan hukum dan sebagai wujud kepastian hukum bagi masyarakat.
"Semua keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) harus dilaksanakan, ini merupakan penegakan dan upaya kami dalam memberikan kepastian hukum," ujar Kajari.
(Dst7)